Diantara harapan dan angan yang terbelah, ada sebongkah keyakinan yang menuntutku untuk tetap mencintai cinta.
Langit kelabu, dingin yang bersangatan menembus pori-pori hati. Perlahan
air mata menetes saat mengingat sekelas tentang dirinya. Masa indah
yang dulu dijalani kini hanyalah kenangan.
Malam ini adalah malam yang buruk untukku. Aku hanya terpelungkur
menatap langit-langit dinding kamarku. Suara musik yang berkumandang di
kamarku tak membuatku terhibur sedikitpun. Dibenakku kembali menyelinap
peristiwa yang membuatku merasa hampa. Berkali pikiranku memaksa untuk
melupakannya, namun hatiku membantah untuk melakukannya. Konflik batin
ini membuatku tertekan. Mengapa untuk berdamai dengan hati dan
membujuknya untuk menghapus bayangan Filya dari memori hati begitu
sulit? Sebegitu dalamkah aku mencintainya?
Aku tak dapat memahami pikiranku. Mengapa bayangan wajahnya selalu hadir
dalam benakku. Jujur, aku merindukannya. Namun, aku hanya bisa
menghilangkan kerinduan itu sejenak dengan mengingat kenangan manis saat
bersamanya. Seandainya ada kesempatan untuk mengulang masa itu, aku
akan menggunakannya dengan sebaik-baiknya dan tak akan ku biarkan masa
itu berlalu.
Tak ada yang bisa aku lakukan sekarang, selain menunggu datangnya
keajaiban sang waktu untuk melupakannya dan menghapus dia dari memori
ingatanku. Aku berdosa jika masih merindukannya. Karena saat ini aku
bukan miliknya lagi dan dia bukan milikku. Karena kenyataan menghampar
di hadapku dengan sangat jelas, aku tak dapat lagi bersamanya, bahkan
untuk bermimpi bisa bersamanya pun sudah tak mungkin. Sinar matanya,
hembusan nafasnya, suara merdunya yang bernyanyi di telingaku, dan
senyum manisnya yang menghiasi wajah mungilnya. Masih terekam sangat
jelas di benakku, namun semua itu ialah semu.
Semua itu hanyalah harapan kosong, bagaikan mengharapkan cahaya bulan di tengah kepingan- kepingan malam yang gelap gulita.
Hampa, hening, sepi, dan tak bernyawa.
Jelas Filya telah menyakitiku, tapi mengapa hatiku tetap memaksa untuk
bersama Filya. Ingin ku melepaskan diri dari jerat cinta yang membuatku
tak berdaya. Tuhan, bantu aku melupakannya.
Masih terbayang peristiwa yang membuat hatiku pilu, rapuh, dan tak
berdaya. Cinta yang selama ini menemaniku kini hanya tinggal serpihan
kecil yang tak beraturan. Sebisa mungkin aku berusaha untuk melupakan
kesedihan ini, melupakan bayangan Filya yang telah menghancurkan angan
dan mimpiku. Satu hal yang mengganjal di pikiranku.
“Tolong beritahu aku alasan yang tepat.” Ucapku lirih.
Kepingan Bintang
Kenyataan akan membawaku menemukan kepingan bintang yang ku cari:)
Bintang itu indah yah:)
Selasa, 18 September 2012
Senin, 25 Juli 2011
Bab 3_Kepingan Bintang
Sebuah kisah yang tergoreskan oleh pena, terukir dalam bayangan masa silam, dan terekam dalam memori hati. Setiap cinta menuliskan kisah yang berbeda dan menempati ruangnya sesuai komposisinya dalam hati.
Ketika hening malam datang. Aku berharap adanya perubahan dalam hidupku. Terdengar sayup angin yang bernyanyi. Jika ku tengok kembali ke belakang, teringat di benakku tentang apa yang pernah dilewati. Air mata haru menetes di pipiku, namun batinku menepis untuk menangisinya. Aku tak menyangka, aku telah melalui semuanya dan aku bisa melaluinya.
Hatiku tak dapat berbohong, aku masih amat mencintainya, tapi saat aku ingat dia telah bahagia bersama sahabatku. Aku ikhlas melepas Filya untuk Wika.
Sesungguhnya hatiku meringis saat setiap kali bayangannya menyelinap dalam benakku, batinku perih saat harus menerima kenyataan dia bukan milikku lagi.
Satu hal yang aku tak mengerti.
Mengapa dia bisa bahagia di atas kepedihanku?
Mereka disana tertawa bersama dengan riang, dan aku disini hanya bisa meneteskan air mata setiap kali aku mengingat kenangan bersamanya.
Aku munafik.
Aku akui itu, karena aku tak setegar dengan apa yang aku bicarakan.
Berkali-kali aku mencoba mengikhlaskannya, tapi tetap saja aku tak rela setiap mendengar dia sangat mencintainya. Bicara tentang cinta, apakah cintaku padanya masih belum cukup besar?
Aku melepasnya karena aku ingin dia bahagia.
Tapi aku tak pernah menduga, hati ini tak dapat menerima kenyataan bahwa dia bukan untukku. Sekeras apapun aku melawan takdir, cintanya tetap bukan untukku dan setegar apapun aku bertahan untuknya, hatiku tetap terluka.
Menerima kenyataan pahit memang sulit, tapi kita akan terlihat semakin bodoh jika terus meratapi kenyataan tersebut.
Hidup ini anugerah, begitu juga dengan cinta. Kadang cinta membuat terluka, tapi luka itulah yang membuat kita berjuang menemukan bahagia.
Luka dan kepedihan akan sirna oleh waktu, meski nodanya tak akan hilang dan membekas di hati, tapi percayalah, kepedihan itu akan tertutupi kembali dengan cinta yang tulus.
Jika Tuhan mengijinkan, nothing impossible. Dan aku percaya. Jika aku ikhlas dan sabar, aku pasti dapat melupakan luka ini dan mampu menerima kenyataan pahit ini, serta mampu untuk memperjuangkan cinta lain yang telah dipersiapkan Tuhan untukku.
Tapi sebaliknya, jika aku terus terpuruk, Tuhan pasti akan marah padaku, karena begitu banyak waktu yang aku sia-sia kan hanya untuk hal yang tak seharusnya aku pikirkan.
Entah apa yang ada di pikiranku. Kadang aku masih berharap dia akan kembali lagi bersamaku, tapi harapan itu hanyalah semu. Dan seharusnya aku tak memiliki harapan itu. Karena itu hanya akan membuatku semakin rapuh dan sulit untuk melepasnya.
Ketika hening malam datang. Aku berharap adanya perubahan dalam hidupku. Terdengar sayup angin yang bernyanyi. Jika ku tengok kembali ke belakang, teringat di benakku tentang apa yang pernah dilewati. Air mata haru menetes di pipiku, namun batinku menepis untuk menangisinya. Aku tak menyangka, aku telah melalui semuanya dan aku bisa melaluinya.
Hatiku tak dapat berbohong, aku masih amat mencintainya, tapi saat aku ingat dia telah bahagia bersama sahabatku. Aku ikhlas melepas Filya untuk Wika.
Sesungguhnya hatiku meringis saat setiap kali bayangannya menyelinap dalam benakku, batinku perih saat harus menerima kenyataan dia bukan milikku lagi.
Satu hal yang aku tak mengerti.
Mengapa dia bisa bahagia di atas kepedihanku?
Mereka disana tertawa bersama dengan riang, dan aku disini hanya bisa meneteskan air mata setiap kali aku mengingat kenangan bersamanya.
Aku munafik.
Aku akui itu, karena aku tak setegar dengan apa yang aku bicarakan.
Berkali-kali aku mencoba mengikhlaskannya, tapi tetap saja aku tak rela setiap mendengar dia sangat mencintainya. Bicara tentang cinta, apakah cintaku padanya masih belum cukup besar?
Aku melepasnya karena aku ingin dia bahagia.
Tapi aku tak pernah menduga, hati ini tak dapat menerima kenyataan bahwa dia bukan untukku. Sekeras apapun aku melawan takdir, cintanya tetap bukan untukku dan setegar apapun aku bertahan untuknya, hatiku tetap terluka.
Menerima kenyataan pahit memang sulit, tapi kita akan terlihat semakin bodoh jika terus meratapi kenyataan tersebut.
Hidup ini anugerah, begitu juga dengan cinta. Kadang cinta membuat terluka, tapi luka itulah yang membuat kita berjuang menemukan bahagia.
Luka dan kepedihan akan sirna oleh waktu, meski nodanya tak akan hilang dan membekas di hati, tapi percayalah, kepedihan itu akan tertutupi kembali dengan cinta yang tulus.
Jika Tuhan mengijinkan, nothing impossible. Dan aku percaya. Jika aku ikhlas dan sabar, aku pasti dapat melupakan luka ini dan mampu menerima kenyataan pahit ini, serta mampu untuk memperjuangkan cinta lain yang telah dipersiapkan Tuhan untukku.
Tapi sebaliknya, jika aku terus terpuruk, Tuhan pasti akan marah padaku, karena begitu banyak waktu yang aku sia-sia kan hanya untuk hal yang tak seharusnya aku pikirkan.
Entah apa yang ada di pikiranku. Kadang aku masih berharap dia akan kembali lagi bersamaku, tapi harapan itu hanyalah semu. Dan seharusnya aku tak memiliki harapan itu. Karena itu hanya akan membuatku semakin rapuh dan sulit untuk melepasnya.
Bab 2_Kepingan Bintang
Alur kehidupan yang kejam, penuh lika-liku, dan menyesatkan. Tapi dibalik kegelapan pasti ada cahaya terang, walaupun untuk mencapainya kita harus merangkak.
Sinar mentari yang menerobos masuk ke kamarku, membangunkanku dari tidur lelapku.
Saat matahari terbit, setiap jiwa terbit kembali.
Aku menarik selimut yang menutupi tubuhku, rasanya begitu enggan menggerakkan kaki untuk bersiap menuju sekolah. Dua puluh menit berlalu, aku pergi ke ruang makan.
“Pagi sayang.”
“Pagi juga Bunda.”
“Kamu baik-baik saja kan,Syil? Semalam Bintang kesini, dia khawatir sekali denganmu, dia menunggumu keluar kamar hingga larut malam.”
“Aku gak apa-apa bunda. Iya aku tahu.”
“Kalian tidak sedang bertengkar kan?”
“Tidak. Kami baik-baik saja. Semalam aku hanya kecapean dan ketiduran.”
“Syila, bunda bukan anak kecil yang bisa kamu bohongi. Kamu memang kamu sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahmu sendiri, tapi kamu pasti butuh teman untuk berbagi.”
“Iya bunda. Syila gak apa-apa, percayalah.”
Aku tersenyum, memeluk, dan mencium tangan wanita separuh baya yang telah melahirkan dan membesarkanku itu. Aku tak bermaksud membohonginya, tapi aku tak mau membuatnya terbebani dengan masalahku, biarkan ku selesaikan semua masalah ini sendiri. Aku berangkat sekolah setelah mengambil sepotong roti.
Pagi yang cerah, tapi tidak secerah hatiku. Seperti biasa aku menuju sekolah dengan naik bus. Aku sampai di sekolah lebih awal hari ini. Sesampainya di sekolah, aku tetap diam dan suntuk. Bahkan aku tidak menyadari keberadaan Bintang yang sejak tadi memperhatikanku. Bintang menghampiriku.
Sinar mentari yang menerobos masuk ke kamarku, membangunkanku dari tidur lelapku.
Saat matahari terbit, setiap jiwa terbit kembali.
Aku menarik selimut yang menutupi tubuhku, rasanya begitu enggan menggerakkan kaki untuk bersiap menuju sekolah. Dua puluh menit berlalu, aku pergi ke ruang makan.
“Pagi sayang.”
“Pagi juga Bunda.”
“Kamu baik-baik saja kan,Syil? Semalam Bintang kesini, dia khawatir sekali denganmu, dia menunggumu keluar kamar hingga larut malam.”
“Aku gak apa-apa bunda. Iya aku tahu.”
“Kalian tidak sedang bertengkar kan?”
“Tidak. Kami baik-baik saja. Semalam aku hanya kecapean dan ketiduran.”
“Syila, bunda bukan anak kecil yang bisa kamu bohongi. Kamu memang kamu sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahmu sendiri, tapi kamu pasti butuh teman untuk berbagi.”
“Iya bunda. Syila gak apa-apa, percayalah.”
Aku tersenyum, memeluk, dan mencium tangan wanita separuh baya yang telah melahirkan dan membesarkanku itu. Aku tak bermaksud membohonginya, tapi aku tak mau membuatnya terbebani dengan masalahku, biarkan ku selesaikan semua masalah ini sendiri. Aku berangkat sekolah setelah mengambil sepotong roti.
Pagi yang cerah, tapi tidak secerah hatiku. Seperti biasa aku menuju sekolah dengan naik bus. Aku sampai di sekolah lebih awal hari ini. Sesampainya di sekolah, aku tetap diam dan suntuk. Bahkan aku tidak menyadari keberadaan Bintang yang sejak tadi memperhatikanku. Bintang menghampiriku.
Senin, 22 November 2010
Kepingan-Bintang
Prolog
Aku tak mengerti tentang hatiku. Lagi-lagi kecewa dan luka menyapaku. Ingin rasanya aku menepis semua pedih ini. Namun aku hanyalah manusia yang tak berdaya untuk melakukannya.
Aku lelah dan bosan berteman dengan tangis dan kesunyian. Aku jenuh dengan kesendirian ini.
Tuhan...
Dalam setiap tetesan air mata dalam sujudku, aku selalu berharap Kau mau mendengarkan curahan hati hambamu yang kehilangan arah ini. Cinta membuat ku tersesat, tak tahu kemana harus melangkah , membuatku membisu disini, dalam keheningan, kesendirian, dan kehampaan. Cinta memaksaku untuk bertahan dengan keadaan ini, tapi realita memaksaku untuk pindah haluan.
Mana yang harus ku pilih?
Aku pun tak tahu..
Jujur aku tersiksa dengan keadaan ini. Semua yang ku cinta menjauh dari ku, tanpa ku mampu menahannya untuk tetap di sisiku. Inginku bebas dan menjadi diri ku yang dulu. Berpetualang di alam liar dan tak mengenal cinta.
Berkali-kali aku membiarkan cinta menyapaku. Tapi apa yang ku dapatkan?
Hanya kecewa, luka, dan rasa kehilangan saat cinta itu menebarkan durinya di sekujur jiwaku. Perih, sangat perih.
Butuh waktu yang tak singkat untuk kembali pulih, namun apa yang terjadi. Setiap kali aku mencoba untuk bangkit, cinta kembali menjatuhkanku dan membuatku terhempas. Pernahkah cinta itu mengerti, betapa sulitnya aku untuk bangkit , tapi mengapa cinta itu tega membuatku tersungkur tak berdaya dalam kepedihan.
Tuhan...
Aku selalu mencoba untuk tegar. Tapi aku hanyalah makhluk mu yang tercipta dengan memiliki hati yang lembut, hati yang apabila tergores perih seujung jarum saja akan menangis. Hati yang tak sanggup untuk disakiti. Hati yang ingin selalu dimengerti, bukan untuk dihempaskan dan diacuhkan.
Andai ini memang takdirmu.
Mengapa aku?
Mengapa aku yang kau pilih untuk menerima takdirmu ini?
Mengapa aku yang kau percaya untuk merasakan sakit ini?
Aku tak sanggup Tuhan...
Aku tak mengerti tentang hatiku. Lagi-lagi kecewa dan luka menyapaku. Ingin rasanya aku menepis semua pedih ini. Namun aku hanyalah manusia yang tak berdaya untuk melakukannya.
Aku lelah dan bosan berteman dengan tangis dan kesunyian. Aku jenuh dengan kesendirian ini.
Tuhan...
Dalam setiap tetesan air mata dalam sujudku, aku selalu berharap Kau mau mendengarkan curahan hati hambamu yang kehilangan arah ini. Cinta membuat ku tersesat, tak tahu kemana harus melangkah , membuatku membisu disini, dalam keheningan, kesendirian, dan kehampaan. Cinta memaksaku untuk bertahan dengan keadaan ini, tapi realita memaksaku untuk pindah haluan.
Mana yang harus ku pilih?
Aku pun tak tahu..
Jujur aku tersiksa dengan keadaan ini. Semua yang ku cinta menjauh dari ku, tanpa ku mampu menahannya untuk tetap di sisiku. Inginku bebas dan menjadi diri ku yang dulu. Berpetualang di alam liar dan tak mengenal cinta.
Berkali-kali aku membiarkan cinta menyapaku. Tapi apa yang ku dapatkan?
Hanya kecewa, luka, dan rasa kehilangan saat cinta itu menebarkan durinya di sekujur jiwaku. Perih, sangat perih.
Butuh waktu yang tak singkat untuk kembali pulih, namun apa yang terjadi. Setiap kali aku mencoba untuk bangkit, cinta kembali menjatuhkanku dan membuatku terhempas. Pernahkah cinta itu mengerti, betapa sulitnya aku untuk bangkit , tapi mengapa cinta itu tega membuatku tersungkur tak berdaya dalam kepedihan.
Tuhan...
Aku selalu mencoba untuk tegar. Tapi aku hanyalah makhluk mu yang tercipta dengan memiliki hati yang lembut, hati yang apabila tergores perih seujung jarum saja akan menangis. Hati yang tak sanggup untuk disakiti. Hati yang ingin selalu dimengerti, bukan untuk dihempaskan dan diacuhkan.
Andai ini memang takdirmu.
Mengapa aku?
Mengapa aku yang kau pilih untuk menerima takdirmu ini?
Mengapa aku yang kau percaya untuk merasakan sakit ini?
Aku tak sanggup Tuhan...
Langganan:
Postingan (Atom)